Selasa, 28 Oktober 2008

Jalan Panjang Menuju "Civil Society"


 WACANA civil society sebetulnya sudah mulai berkembang sejak dekade 70-an bersamaan 
dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia. Memasuki dekade 
80-an, wacana ini makin merebut perhatian publik. Ini tidak heran, karena pada dekade 
tersebut, kekuasaan Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan wacana tunggal yang 
sangat hegemonik yang ditandai penetapan Pancasila sebagai asas tunggal. Wacana lain 
di luar Pancasila ibarat barang haram yang bukan saja dilarang, tetapi juga diimbangi 
dengan tindakan hukum yang represif. Kita tentu masih ingat dua orang muda di 
Yogyakarta pada tahun 1987 yang ditangkap karena menjual dan mengedarkan buku-buku 
Pramoedya Ananta Toer, yakni Bambang Isti Nugroho dan Bonar Tigor Naipospos, dengan 
tuduhan subversif.Wacana civil society berhasil merebut perhatian publik, terutama 
kalangan terpelajar, LSM, dan akademisi karena ia menjadi satu-satunya wacana 
"perlawanan" terhadap kekuasaan yang otoriter. Sedangkan wacana lain yang lebih keras, 
seperti wacana oposisi, sama sekali tidak mendapat tempat dalam diskursus publik. 
Dengan beralasan oposisi tidak sesuai dengan budaya bangsa, penguasa bukan saja 
melarang oposisi dalam praktik politik, tetapi sebagai wacana juga tidak diberi hak 
hidup. Itulah sebabnya, wacana civil society seolah-olah menjadi alternatif sebagai 
wacana tandingan.
Karena itu pula, wacana civil society lebih dimaknai sebagai "masyarakat sipil" yang 
diperhadapkan secara diametral dengan negara. Dari wacana civil society yang 
berkembang di Tanah Air, penekanan makna oposisi terhadap negara nampak sangat 
dominan. Padahal, wacana ini sebetulnya tidak semata-mata sebagai konsep yang secara 
diametral berhadap-hadapan dengan negara, tetapi lebih menunjuk pada keadaan sosial di 
mana masyarakat memiliki ciri-ciri kemandirian, kesukarelaan, kemampuan 
mengorganisasikan diri untuk memperjuangkan kepentingannya, serta ketaatan terhadap 
aturan main yang berupa hukum-hukum positif.
 
Kemandirian dan kemampuan mengorganisasikan diri mengandaikan suatu keadaan di mana 
masyarakat memiliki tidak hanya kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa 
tergantung kepada pemerintah, tetapi juga kesadaran politik untuk selalu ikut terlibat 
dalam proses-proses politik melalui mekanisme kontrol terhadap kekuasaan, khususnya 
berkenaan dengan aturan-aturan publik yang secara langsung bersentuhan dengan mereka. 
Perspektif inilah yang agaknya sangat dominan dalam wacana civil society selama dua 
dekade terakhir ini. Sedangkan perspektif yang berkenaan dengan ciri ketiga, yakni 
kepatuhan terhadap hukum seolah-olah terlepas dari wacana civil society. Padahal ciri 
yang terakhir ini tidak kalah pentingnya bagi upaya penguatan civil society.
 
Pemaknaan civil society sebagai wacana yang berhadapan secara diametral dengan 
kekuasaan sering kali kemudian diidentifikasikan pada kelompok-kelompok masyarakat 
yang tidak terkooptasi oleh negara. Kelompok-kelompok masyarakat, terutama LSM serta 
organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah, sering kali dianggap representasi dari 
civil society, karena kelompok-kelompok ini relatif mandiri, otonom, dan tidak 
tergantung pada pemerintah. Identifikasi semacam ini sebetulnya bisa dipahami-meski 
masih bisa diperdebatkan- karena pada masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada 
organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan. Organisasi dengan massa dan 
keanggotaan yang luas seperti NU dan Muhammadiyah saja tidak sepenuhnya bisa dianggap 
mandiri, otonom, dan steril dari intervensi negara. Bukan hanya karena organisasi itu 
tidak mampu bersikap independen dan otonom, tetapi juga karena negara versi Orde Baru 
adalah negara yang mengurusi hampir segala hal hingga yang paling pribadi seperti 
dalam kasus KB. Bisa dipahami jika civil society tidak mengalami kemajuan yang berarti 
dalam kekuasaan Orde Baru.
 
 
***
SEBAGAI konsep sosial yang lahir pada abad ke-18, civil society sangat terbuka 
terhadap berbagai perkembangan, pemaknaan, dan penafsiran. Dicetuskan pertama kali 
oleh Cicero-seorang filsuf Romawi-dengan gagasan cocieties civilis, civil society 
berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran waktu itu. Pada mulanya civil society 
dipahami sebagai komunitas negara yang anggota-anggotanya adalah warga. Dalam konteks 
ini, civil society identik dengan negara. Hegel termasuk yang membolehkan negara 
melakukan intervensi terhadap civil society. Karena, dengan kebebasan mengembangkan 
aspirasi dan kepentingan dari setiap warga, maka civil society dengan sendirinya butuh 
bantuan negara untuk melakukan pengaturan, lewat kontrol hukum, administrasi, dan 
politik. 
 
Dalam sejarahnya kemudian, civil society mengalami perkembangan makna sebagai entitas 
yang terpisah dari negara. Adalah Thomas Pain (1792) yang mulai memaknai civil society 
dalam posisi diametral dengan negara, bahkan civil society dinilai sebagai antitesis 
negara. 
 
Dalam teori-teori liberal, civil society dipahami sebagai prakondisi bagi pembentukan 
kesadaran politik, penggalangan political will, terwujudnya kontrol sosial untuk 
mengawasi kekuasaan negara. Hak-hak terpenting pada civil society menurut teori-teori 
liberal adalah kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat serta kebebasan berkumpul 
dan berserikat. Dalam civil society tidak diperjuangkan kepentingan privat atau 
kepentingan kelas, tetapi kepentingan umum, di mana baik kepentingan perorangan maupun 
kepentingan kelas sudah dianggap terwakili.
 
Namun, kelompok Marxis melihatnya justru sebagai bagian dari kelas borjuasi yang harus 
dilawan. Dengan memosisikan civil society pada basic material-nya, ia dianggap hanya 
mewakili kelompok-kelompok borjuis dan pemilik modal. Ketaatan terhadap hukum sebagai 
prasyarat civil society juga dianggap nonsens. Karena, hukum sebagai aturan main 
dipandang kelompok ini tak lebih dari sebuah produk politik. Sementara politik hanya 
menjadi alat bagi kepentingan pemilik modal.
 
Dengan perdebatan yang seperti itu, wacana civil society memang bukan konsep yang 
dengan mudah bisa diapresiasikan dalam konteks Indonesia. Bukan hanya karena karakter 
sosial, budaya, serta politik kita berbeda dengan tempat asal konsep ini lahir, tapi 
secara teknis kebahasaan juga sulit ditemukan padanannya. Ada yang menerjemahkan 
sebagai 'masyarakat sipil', yang kemudian diperhadapkan dengan 'masyarakat militer'. 
Ada yang menerjemahkan sebagai 'masyarakat madani' dengan merujuk pada ideal type 
masyarakat Islam di Madinah pada masa-masa awal kedatangan Islam. Padahal civil 
society merujuk pada sebuah masyarakat yang ada dalam suatu negara yang disebut 
nation-state (negara-bangsa), bukan negara yang didasarkan agama maupun negara yang 
didasarkan pada suku (tribal-state). Kemudian ada juga yang menerjemahkan sebagai 
masyarakat warga, atau masyarakat kewargaan. Terjemahan yang terakhir inilah yang 
agaknya lebih dekat dengan substansi civil society. Sementara ada kelompok lain lagi 
yang enggan menerjemahkan istilah ini sehingga tetap menggunakan istilah civil society.
 
Sebagai konsep sosial, civil society merujuk pada sebuah masyarakat dalam suatu 
negara. Masyarakat ini, berbeda dengan masyarakat yang ada dalam suatu komunitas etnis 
tertentu, ditandai pertama-tama tidak pada kemandirian dan otonominya dari negara, 
tetapi pada kepatuhannya terhadap produk-produk hukum yang sudah disepakati sebagai 
aturan main bersama dalam kehidupan publik. 
 
Tulisan ini akan mengikuti paradigma Hegel yang membagi masyarakat menjadi tiga, yakni 
keluarga, civil society, dan negara dengan sedikit modifikasi seperti yang dikemukakan 
Ignas Kleden melalui pembagian tiga wilayah sosial, yakni apa yang disebut sebagai 
wilayah privat (private sphere), negara sebagai wilayah politik (political sphere), 
dan civil society sebagai wilayah publik.
 
Wilayah privat (private sphere), merupakan kehidupan komunal dari berbagai jenis 
komunitas, baik berdasarkan keturunan, kedaerahan, etnisitas, ataupun kesamaan agama 
dan bahasa. Dalam komunitas ini para anggotanya umumnya saling mengenal satu sama 
lain. Kehidupan dalam komunitas ini dan interaksi di antara anggotanya diatur 
berdasarkan adat-kebiasaan dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kelompok 
tersebut. Hal terpenting yang merupakan ciri khas suatu komunitas adalah bahwa 
tiap-tiap anggotanya pertama-tama tidak dipandang sebagai individu yang otonom, tetapi 
lebih sebagai anggota komunitas yang terikat pada kelompoknya. Termasuk dalam kategori 
wilayah privat adalah komunitas etnis dan komunitas agama.
 
Wilayah kedua yaitu negara yang bisa disebut juga dengan istilah wilayah politik 
(political sphere) di mana kekuasaan diorganisasikan dan digunakan, baik untuk 
mengatasi berbagai masalah dan konflik maupun untuk mewujudkan kepentingan umum. 
Representasi paling jelas dari kekuasaan negara adalah monopoli untuk menggunakan 
kekerasan (violence) mengatasi konflik dan memulihkan ketertiban. Tidak mengherankan 
jika negara sebagai organisasi kekuasaan selalu mempunyai suatu kecenderungan yang 
boleh dikatakan alamiah untuk bersikap otoriter, yaitu sikap memaksakan kehendak 
dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan sebagai sarananya. Itulah sebabnya 
kekuasaan negara perlu diawasi dan dibatasi, baik dengan membagi-bagikannya sehingga 
tercipta suatu keseimbangan kekuasaan maupun dengan mengontrolnya sehingga 
penggunaannya tidak menjadi sewenang-wenang.
 
Sedangkan wilayah ketiga adalah civil society atau yang juga dikenal dengan istilah 
wilayah publik (public sphere), suatu wilayah yang bebas dan otonom di mana masyarakat 
saling berinteraksi dalam berbagai bentuknya tanpa ada batasan etnis, kedaerahan, 
maupun keyakinan. Kekhasan wilayah ini adalah dia tidak bisa menggunakan kekerasan 
untuk mencapai tujuan-tujuannya (seperti yang diperbolehkan pada negara), tetapi juga 
tidak bisa lagi merujuk pada nilai-nilai budaya sebagai normanya (sebagaimana yang 
terjadi pada wilayah privat dalam suatu komunitas). Norma-norma yang berlaku adalah 
hukum positif yang disepakati semua pihak dan berlaku untuk semua kalangan. Dengan 
demikian, untuk mengatasi konflik, maka penyelesaiannya tidak menggunakan norma-norma 
budaya tertentu sebagaimana yang berlaku pada wilayah privat dalam suatu komunitas, 
tetapi menggunakan hukum positif yang berlaku untuk semua orang.
 
 
***
DALAM sebuah negara yang menganut nation-state (negara-bangsa), pembagian wilayah itu 
merupakan keharusan yang tidak bisa ditolak, karena masing-masing wilayah memiliki 
aturan main, prosedur, mekanisme dan logikanya sendiri-sendiri yang bersifat otonom. 
Ketiga wilayah tersebut harus dibatasi dengan garis demarkasi yang jelas dan tegas 
sehingga tidak sampai terjadi intervensi wilayah yang satu terhadap wilayah lainnya. 
 
Dalam konteks Indonesia, pembagian tiga wilayah sosial itu tidak mudah karena akan 
berhadapan langsung dengan kendala struktur sosial politik yang meletakkan agama tidak 
hanya pada wilayah privat, tetapi sekaligus wilayah publik bahkan masuk juga ke 
wilayah politik. Departemen Agama adalah contoh paling nyata dari masuknya wilayah 
privat ke wilayah politik. 
 
Padahal, dalam kategorisasi di atas, agama sesungguhnya termasuk wilayah privat. Bukan 
hanya karena agama adalah simbol yang paling eksplisit dari kehidupan komunal yang 
menjadi ciri khas wilayah privat, tetapi terutama karena ia adalah ekspresi dari 
kebebasan individu yang bersifat mutlak. Tidak ada satu kekuatan pun termasuk kekuatan 
negara-yang bisa memaksa seseorang agar memilih agama tertentu. Di sini bisa dikatakan 
bahwa urusan privat yang seharusnya cukup diserahkan kepada komunitas yang 
bersangkutan, justru diintervensi oleh negara. 
 
Dalam banyak hal, menurut Masdar F Mas'udi, masuknya agama ke dalam wilayah politik 
sebetulnya lebih sering berdampak negatif daripada positif. Paling tidak ada tiga 
risiko besar yang akan terjadi. Pertama, risiko yang bersifat ke dalam, membuat 
independensi keagamaan menjadi hilang. Keagamaan yang semula bertumpu pada kebebasan 
iman, lalu tereduksikan menjadi urusan birokrasi yang memiliki kecenderungan memaksa. 
Kedua, komunitas keagamaan pun terpaksa juga ikut tertundukkan oleh kepentingan 
negara, terutama kalangan elitenya. Ini bisa dilihat dari kecenderungan agama menjadi 
legitimasi politik. Ketiga, yang bersifat keluar, campur tangan negara pada domain 
keagamaan ini cenderung mendiskriminasikan faham keagamaan yang satu atas faham 
keagamaan yang lain, menganakemaskan kelompok keagamaan yang satu sambil 
menganaktirikan kelompok keagamaan yang lain. Lalu agama terseret ke derajat yang 
rendah, menjadi faktor pemecah belah. Agama yang semestinya menjadi rahmat berubah 
menjadi sumber fitnah.
 
Ketika agama sebagai isu privat muncul dalam wilayah publik maupun politik, ia juga 
cenderung menjadi garis pemisah antara "kelompok kami" (in group) dan "kelompok 
mereka" (out group). Hal ini membawa akibat lebih jauh: ke dalam, ia berfungsi 
merangkul; dan ke luar, ia berfungsi menyangkal. 
 
Jika ditarik ke dalam wilayah publik maupun politik, kecenderungan itu membawa 
implikasi yang tidak kalah seriusnya. Karena, agama yang berwatak subyektif, tertutup 
dan "mutlak", harus menangani masalah-masalah publik dan politik yang pada hakikatnya 
bersifat obyektif, rasional dan terbuka. Kasus Ajinomoto yang dipersoalkan status 
kehalalannya beberapa waktu yang lalu adalah contoh yang sangat telanjang. Sebagai 
bagian dari wilayah publik, Ajinomoto adalah bumbu masak yang bisa diakses siapa saja 
tanpa ada batasan-batasan etnis, status sosial, keyakinan, dan sebagainya. Ia adalah 
produk publik, semua orang berhak mendapatkannya. Tetapi, ia kemudian diintervensi 
oleh dua wilayah sekaligus: agama dan negara. Agama sebagai wilayah privat 
mempersoalkan status kehalalannya. Negara, berdasarkan fatwa MUI atas nama agama, 
melakukan intervensi yang sama dengan menarik seluruh produk Ajinomoto dan bahkan 
menutup pabrik bumbu masak itu. Meski akhirnya dibuka kembali, di sini terlihat bahwa 
perlindungan terhadap konsumen Muslim secara berlebihan telah membawa efek 
mengesampingkan perlindungan terhadap kepentingan konsumen lainnya yang juga punya hak 
untuk memperoleh produk itu. Konsumen Muslim jelas perlu dilindungi. Tapi bukan 
berarti konsumen non-Muslim kemudian tidak berhak untuk mendapat perlindungan yang 
sama.
 
Persoalannya adalah, agama sudah telanjur menjadi isu publik-sekaligus isu 
politik-bahkan sejak negeri ini berdiri. Perdebatan sengit di Dewan Konstituante yang 
berlarut-larut soal dasar negara merupakan ekspresi yang sangat nyata mengenai 
kecenderungan menempatkan agama sebagai isu publik sekaligus isu politis. Dan, dalam 
kadar tertentu, kecenderungan ini bersifat permanen. Hampir-hampir mustahil bagi 
bangsa yang terkenal religius ini untuk melepaskan agama dari isu publik dan kemudian 
meletakkannya hanya semata-mata sebagai isu privat. Islam sebagai agama mayoritas 
diyakini pemeluknya lebih dari sekadar sistem ritual. Islam din wa daulah-Islam adalah 
sistem ajaran (agama) dan sekaligus sistem kekuasaan-adalah adigium yang sudah 
telanjur menancap kuat dalam memori kolektif umat yang terus dipertahankan, 
dipraktikkan, dan direproduksi secara berkelanjutan. Dengan demikian, agak susah untuk 
"menurunkan" agama sebagai isu publik dan politik pada level privat.
 
 
***
KEBERADAAN agama sebagai isu publik maupun politik sebetulnya tidak perlu dipersoalkan 
sejauh pengaruh agama terhadap norma-norma yang berlaku di wilayah publik didasarkan 
pada kesepakatan bersama. Sebab, pembagian wilayah secara jelas dan tegas itu tidak 
berarti menafikan interaksi di antara ketiga wilayah itu. Interaksi justru merupakan 
suatu hal yang wajar dan alami, karena dari interaksi inilah kemudian terjadi saling 
mempengaruhi. Hanya saja, interaksi dan saling mempengaruhi itu harus terjadi dalam 
koridor yang bersifat sukarela dan tidak memaksa. 
 
Hubungan agama sebagai isu publik dan negara sebagai wilayah politik mestinya terjadi 
dalam konteks itu. Kecenderungan agama untuk mempengaruhi kehidupan publik, baik di 
level politik (negara) maupun di level civil society, adalah wajar-wajar saja.
 
Karena itu, kita tidak perlu membongkar paksa keberadaan agama sebagai isu publik dan 
sekaligus isu politis karena justru kontra-produktif dan akan berhadapan secara 
langsung dengan memori kolektif umat yang sudah demikian kokoh menganggap agama 
sebagai isu publik dan sekaligus isu politik. Yang paling "realistis" adalah 
"mengeksploitasi" sisi-sisi publik dari agama untuk kepentingan publik sambil secara 
perlahan-lahan menurunkan sisi-sisi agama yang bersifat komunal ke wilayah privat.
 
Yang pertama-tama perlu dilakukan tentu saja adalah memilah-milah mana ajaran agama 
yang bersifat publik dan mana ajaran privat. Upaya pemilahan ini sebetulnya tidak 
terlalu sulit, karena di samping masing-masing agama memiliki ajaran privat dan ajaran 
publik, perbedaan di antara keduanya pun cukup jelas. Ajaran publik adalah hal-hal 
yang berkaitan dengan kehidupan umum. Sedangkan ajaran privat adalah hal-hal yang 
hanya menyangkut kehidupan pribadi umat dan kehidupan komunitas agama yang 
bersangkutan. Dalam Islam, misalnya, ajaran privat terlihat jelas dalam bidang 
ubudiyah yang mengatur masalah-masalah ritual dan bidang al-ahwal al-syahshiyah yang 
mengatur kehidupan domestik keluarga dan komunitas Muslim. Sedangkan ajaran publik 
tercermin dalam bidang mu'amalah (hubungan horizontal antarsesama manusia tanpa 
mengenal batas etnis, bahasa, maupun keyakinan) yang biasanya berisi prinsip-prinsip 
moral dan etika sosial. Ajaran-ajaran publik inilah yang harus dipertahankan dan 
diperkuat pada agama sebagai isu publik maupun politik. Sedangkan ajaran-ajaran privat 
yang hanya berlaku bagi pribadi dan komunitas umat sedikit demi sedikit diturunkan 
dari wilayah publik dan wilayah politik ke wilayah privat.
 
Tentu saja tidak cukup sampai di sini. Paradigma Koentowidjojo yang terkenal dengan 
pendekatan "obyektifikasi" mungkin menarik untuk dikembangkan lebih jauh. 
Obyektifikasi yang dimaksudkan adalah eksternalisasi dari keyakinan agama yang tidak 
hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan dan kalangan komunitasnya, tetapi juga 
dirasakan agama lain sebagai sesuatu yang natural. 
 
Secara lebih gamblang, Ignas Kleden menawarkan "sekularisasi simbol agama". Yang 
dimaksudkan adalah, substansi dari ajaran agama yang bersifat publik itu 
dipertahankan, tetapi label dan referensi yang secara simbolik menunjuk pada agama 
tertentu ditanggalkan. Sehingga, ketika berada di ruang publik, substansi ajaran-meski 
berasal dari agama tertentu-bisa diapresiasi dan diakui sebagai bagian dari kehidupan 
publik. Ignas Kleden mengambil contoh komunitas Kristen yang dapat menawarkan nilai 
cinta-kasih Kristiani sebagai sumbangan kepada wilayah publik. Akan tetapi, sambil 
tetap mempertahankan substansinya, nilai itu haruslah diterjemahkan menjadi suatu 
nilai publik yang dapat diterima juga oleh komunitas agama lainnya. Caranya ialah 
dengan menanggalkan label Kristen dan referensi Kristennya dan menerjemahkannya 
menjadi solidaritas sosial.
 
Dengan istilah solidaritas sosial dimaksudkan sebagai kesanggupan dan kewajiban untuk 
melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaan kita sendiri. Demikian pula dalam 
hal pemihakan, yakni menghormati kelompok yang berhasil dalam usaha ekonominya, tetapi 
memihak golongan yang kalah dan tersingkir dalam usaha ekonomi yang sama.
 
Menurut Ignas, ada berbagai nilai yang amat mencolok dalam setiap komunitas agama yang 
sangat layak untuk disumbangkan ke wilayah publik dengan cara yang sama. Nilai-nilai 
keadilan dan egalitarianisme sebagai nilai yang sangat kuat pada komunitas Islam, 
etika antikekerasan dalam komunitas Buddha atau kepekaan terhadap alam dan ekologi 
pada komunitas Hindu dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kehidupan 
publik. Semua nilai-nilai itu dapat disumbangkan untuk memperkuat civil society 
setelah referensi-referensi yang bersifat komunal ditanggalkan sehingga dapat diterima 
oleh komunitas agama lain yang juga menjadi anggota dari wilayah publik.
 
Karena itu pula, sumbangan agama terhadap civil society perlu mendapat rumusan baru. 
Gejala kebangkitan agama, khususnya Islam, pada era reformasi ini seharusnya dapat 
menjadi momentum untuk memberikan sumbangan bagi kehidupan publik. Dalam ungkapan 
Ignas Kleden, seseorang yang menjalankan ibadahnya dengan sungguh-sungguh biasanya 
akan termotivasi untuk berkorban bagi kepentingan orang banyak, bahkan juga untuk 
kepentingan orang-orang yang berasal dari komunitas agama lain. Di sinilah kesalehan 
harus mendapat tafsiran baru. Kesalehan seseorang sebagai bagian dari wilayah publik 
tidak diukur dari intensitasnya dalam menjalankan berbagai macam ibadah, tetapi lebih 
ditentukan oleh sejauh mana dia sanggup menerjemahkan berbagai macam ibadah yang 
dijalaninya serta beragam latihan rohaninya menjadi kesadaran baru untuk mendukung 
kepentingan publik yang melampaui batas-batas agama, etnis, kedaerahan, ataupun 
kesamaan bahasa.
 
 
***
MELIHAT berbagai persoalan di Tanah Air, jalan menuju civil society yang bebas dan 
otonom agaknya masih panjang, bukan hanya karena tidak ada garis pemisah yang jelas 
dan tegas antara wilayah privat (private sphere) dalam suatu komunitas, wilayah 
politik (political sphere) dalam kehidupan negara, dan wilayah publik (civil society), 
tetapi terutama karena sejauh ini belum ada usaha-usaha konkret untuk memisahkan 
ketiga wilayah tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya, campur aduk di antara ketiga 
wilayah tersebut dibiarkan carut-marut. 
 
Keadaan ini masih diperparah oleh kenyataan bahwa penegakan hukum sebagai prasyarat 
mutlak kehidupan civil society nyaris terbengkalai sama sekali. "Pembangkangan" 
terhadap hukum tidak hanya terjadi di wilayah politik (political sphere) dalam 
kehidupan negara dengan maraknya apa yang disebut korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), 
tetapi juga di wilayah publik yang ditandai dengan ketidakpercayaan dan 
ketidakpedulian terhadap hukum. 
 
Sementara itu, kebangkitan komunalisme menjadi tantangan tersendiri. Salah satunya 
adalah keinginan untuk memberlakukan syariat Islam untuk wilayah-wilayah yang basis 
penduduknya Muslim. Bahkan, untuk sebagian, keinginan ini sudah mulai diekspresikan 
dengan memberlakukan hukum rajam pada orang yang melakukan zina. Rajam adalah sanksi 
hukum dalam Islam bagi orang yang melakukan zina dengan dilempar batu sekepal tangan 
sampai mati. Hal ini sudah terjadi pada salah seorang anggota lasykar jihad yang 
mengaku berzina dan kemudian dihukum rajam.
 
Kebangkitan komunalisme juga muncul dalam bentuk lain yang tidak kalah seriusnya, 
yakni konflik horizontal bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) seperti 
yang terjadi di Sambas dan Sampit, sebelumnya juga di Ambon dan Maluku. Pertikaian 
antar-etnis yang seharusnya diselesaikan berdasarkan hukum positif, justru menggunakan 
cara-cara adat dalam komunitas yang bersangkutan. Ironisnya, aparat juga tidak mampu 
berbuat banyak hingga melahirkan korban nyawa yang demikian banyak.
 
Semua gejala di atas bermuara pada penghancuran nilai-nilai civil society yang 
seharusnya dijaga dan dipelihara bersama. Bahwa masyarakat kehilangan kepercayaan 
tidak hanya terhadap aparat hukum, tetapi bahkan terhadap hukum itu sendiri, tidak 
bisa dijadikan alasan untuk melakukan tindakan main hakim sendiri, apalagi dengan 
cara-cara kekerasan. 
 
Di sinilah usaha pemberdayaan civil society menemukan pijakannya yang paling nyata. 
Perlunya pemberdayaan civil society tidak hanya dalam arti bahwa masyarakat memiliki 
ruang publik yang bebas dari intervensi negara dan komunitas baik dalam pengertian 
etnis maupun agama, tetapi juga kesediaan untuk memandang norma-norma hukum yang 
berlaku di wilayah publik sebagai komitmen bersama yang harus dipegang teguh. 
 
Pentingnya penguatan civil society sebagai wilayah yang bebas dari intervensi negara 
maupun komunitas akan semakin nyata karena, menurut Ignas Kleden (1999), civil society 
mengemban dua fungsi sekaligus. Terhadap negara ia berfungsi menerjemahkan kekuasaan 
negara menjadi the rule of law; sementara terhadap kehidupan komunitas dalam wilayah 
privat, dia menerjemahkan nilai-nilai budaya dari tiap-tiap komunitas menjadi 
peraturan hukum yang bersifat publik.
 
Di sinilah negara menjadi "wasit" dalam wilayah civil society. Sebagai "wasit", negara 
bukan hanya dituntut untuk berlaku adil, tetapi juga memerlukan kontrol dan pengawasan 
dari segenap masyarakat warga (civil society) agar kewenangannya tidak sampai 
diselewengkan.
 

CIVIL SOCIETY in Bracket MASYARAKAT MADANI

CIVIL SOCIETY

(This short note was delivered while addressing presentation on "Civil Society" held by Partai Keadilan Sejahtera branch Pakistan, Agust 5, 2008)


Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan dasaran konstitusionil bagi pembentukan masyarakat madani atau Civil Society, yaitu masyarakat yang berperadaban. Civil Society secara literatur Inggris berarti Masyarakat Sipil, namun padanan yang dirasa paling tepat adalah masyarakat madani atau beradab. Inilah tatanan masyarakat yang demokratis, terbuka dan berkeadilan sosial serta berwawasan kedepan hingga masa setelah kehidupan dunia berakhir (demi memberikan sedikit pembeda antara konsep Islam dan Barat).

Sejarah dan perkembangan konsep Masyarakat Madani di Eropa biasanya dikaitkan pada runtutan historis masa Pencerahan pada abad ke-18. Sebelum masa itu, para sarjana klasik telah memberikan andil yang cukup signifikan dalam proses pembentukan masyarakat madani tersebut. Para pemikir dan ahli filsafat semisal Plato dan Aristoteles menawarkan beberapa konsep pemikiran yang brilian, seperti good society, dialog publik “dialectic”, common good, philosopher kings dan lain sebagainya. Munculnya bermacam tawaran ide dan konsepsi diatas bermuara pada satu tujuan, pencapaian masyarakat yang adil dan damai, masyarakat madani. Pun para sarjana periode Pencerahan, juga memberikan kontribusi pemikiran yang lebih modern dan sistematis, merefleksikan pengaruh kejadian-kejadian kemanusian dan perubahan sosial yang terjadi silih berganti di Eropa. Seperti Thomas Hobbes dengan teori sosial kontraknya dan John Lock dengan konsepsi Leviathan.

Sejarah Islam menuliskan, betapa Rasulullah SAW memberikan teladan yang baik dalam pembentukan masyarakat madani ini. Setelah melewati fase dakwah yang sangat sulit di Mekkah, beliau diperintahkan untuk hijrah ke Yatsrib, sebuah kota yang terletak sejauh 400 KM dari Mekkah. Disinilah fase baru dimulai, ketika peletakan batu pertama sistem dakwah Islam terlingkup dalam sebuah institusi pemerintahan yang sangat modern pada zamannya. Sebuah pelembagaan masyarakat yang tercatat dalam Piagam Madinah. Inilah yang menjadi bukti konkret betapa masyarakat Madinah telah meletakkan dasar-dasar masyarakat madani. Piagam ini menggariskan ketentuan hidup bersama dan untuk pertama kalinya, memperkenalkan kepada manusia wawasan kebebasan, utamanya di bidang agama dan politik.

Hablum mina-l-Allah merupakan salah satu landasan pembentukan masyarakat madani. Ini berarti, bahwa perjuangan Rasulullah SAW tersebut bertujuan pencapaian sistem sosial yang demokratis, terbuka, adil dan berorientasi pada ketakwaan kepada Allah SWT. Konsep ini meletakkan sandaran tertinggi pada kuasa Tuhan sebagai refleksi terhadap hubungan vertikal antara hamba dan Tuhannya. Dan, jika sikap ketakwaan ini tulus dan baik, maka akan terealisasi dalam pembentukan semangat perikemanusiaan, berupa sikap toleran, mengasihi dan menolong sesama, menghargai orang lain dan lain sebagainya. Inilah dimensi hablun-min-an-naas, relasi horizontal antara hamba dan hamba. Demikianlah esensi masyarakat madani atau Civil Society yang dibangun oleh Nabi. Masyarakat yang berbudi luhur, berperadaban, mengasihi sesama dan berserah diri pada Tuhan.

Hingga saat ini, Indonesia harus mengalami bermacam krisis sosial, politik dan keamanan. Upaya reformasi dan runtuhnya dominasi otoriter Orde Baru, memberikan angin segar bagi lahirnya fondasi demokrasi di segala bidang. Meski demikian, tegaknya supremasi hukum, penghargaan terhadap HAM, sistem politik yang memungkinkan Checks and Balances antar lembaga pemerintah, sebagai unsur penting penegakan demokrasi, masih sebatas mimpi. Negara berjalan tertatih-tatih untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Ironisnya, masyarakat belum terlalu “cerdas” untuk memahami konsep demokrasi yang aplikatif, menganggap seakan-akan seluruh permasalahan bisa diselesaikan melalui unjuk rasa atau mendirikan organisasi tandingan. Demokrasi ternyata tidak cukup dibangun dengan terpilihnya pemimpin sipil melalui pemilihan umum yang jujur dan adil atau kolaps-nya sebuah pemerintahan yang otoriter.

Salah satu konsep yang bisa ditawarkan, terkait pembentukan Civil Society adalah memperkuat supremasi pemerintah dan konsolidasi masyarakat sebagai penyeimbang negara. Maka, diperlukan sebuah upaya reposisi kelembagaan politik, publik dan sosial kemasyarakatan dan kemudian diimbangi oleh pemahaman terhadap worldview yang berorientasi pada nilai-nilai religius, etika dan moral dalam setiap individu.

SUMBER BACAAN:

-Azra, Azyumardy, Civil Society dan Agama, Republika, Resonansi, Thursday, 12 July 2007
-Center, Madani, Menemukan Sosok Masyarakat Madani Indonesia Bag, The Indonesian Information center for better lives, Tuesday, July 22, 2008
-E:\News\Civil Society\Civil society - Wikipedia, the free encyclopedia.mht
-E:\News\Civil Society\Imparsial Report.mht
-Hamid, Usman, Kelompok HAM: Dari Resistensi Menuju Akuntabilitas Moral dan Prosedural, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
-Istilah "Masyarakat Madani" dan Perkembangannya di Indonesia, bahtera@egroups.com, Sat, 14 Aug 1999 20:29:01 +0100,
-Madjid, Nurcholish, Menuju Masyarakat Madani
-O'Brien, Roy, Philosophical History of the Idea of Civil Society, February 1999

CIVIL SOCIETY


Definisi Konsep Civil Society

Pendahuluan

Berangkat dari pemaparan Neera Chandhoke, dari hasil penelitiannya di Departement of Political Science, University of Delhi kisaran tahun 1989-1992 diantaranya mengungkapkan bahwa teori politik, bagaimanapun, tidak sependapat dengan satu definisi mengenai masyarakat sipil, sebab, arti yang berkaitan dengan konsep telah berubah-ubah dalam tradisi-tradisi pemikiran, sebagaimana perubahan antar tradisi.

Karenanya, meski masyarakat sipil merupakan konsep yang diperdebatkan, Chandhoke mengakui ada sebuah koherasi tematis yang mendasari perdebatan-perdebatan dimaksud. Mengingat, bahwa masyarakat sipil tidak memiliki esensi tunggal yang tetap, namun memiliki sekumpulan ciri-ciri yang khas masing-masing ciri ini telah menjadi titik permulaan untuk formulasi dan kontestasi intelektual yang lain. Sejarah konseptual dapat digunakan pada masa-masa pengungkapan narasi dan pada masa reaksi dari narasi tersebut. Oleh sebab itu, Sejarah konseptual menjadi sinigfikan karena membantu kita untuk memisahkan perbedaan dan kontradiksi dalam sebuah pengertian yang menandai konsep tertentu.

Civil Society:

Civil society

Konsep civil society tersebut dipahami dari latar belakang sejarahnya?. Akar perkembangan konsep ini bisa di runut dari zaman Cicero, bahkan Aristoteles. Cicero mengeluarkan istilah societas civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa, hingga abad ke 18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Jadi, istilah-istilah seperti koinonia politike, societas civilis, societa civile, buergerliche gessellschaft, civil society, dan societa civile dipakai secara bergantian dengan polis, civitas, etat, staat, state dan stato. Konsep ini terus berkembang, dan boleh jadi saling melengkapi. Konsep civil society model Cicero di maksud sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antara individu menandai keberadaan suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat kota, misalnya, menurut Cicero merupakan masyarakat yang telah menundukan dirinya di bawah supremasi hukum (civil law) sebagai dasar yang menentukan hidup bersama. Bisa di katakan bahwa proses membentuk civil society itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota.

Di masa selanjutnya, nyaris selang berabad-abad lamanya setelah istilah tersebut tenggelam, John locke dan Rousseau menghidupkannya kembali sebagai istilah yang di pakai dalam menganalisis hubungan masyarakat dengan politik. Locke, misalnya mengidensipikasikan civil society sebagai " masyarakat politik" (political society). Ciri dari civil society, selain terkait dengan tata hukum, juga dalam konteks ekonomi dan perkembangan zaman yang mampu menyejahterakan dan memuliakan hidup sebuah masyarakat beradab. Sementara Rousseau menggarisbawahinya lebih lanjut dengan mengatakan bahwa masyarakat politik itu tercipta lewat adanya kontrak sosial(social contract). Tapi, yang perlu di garis bawahi disini adalah, ternyata konsep civil society Locke dan Rousseau belum membedakan antara civil society dengan negara. Bahkan keduanya beranggapan bahwa civil society adalah pemerintahan sipil yang membedakan diri dari masyarakat alami-yang muncul sebagai prakondisi civil society.

Mencari akar defenisi dari konteks Barat.pada hakekatnya adalah sebagai sebuah konsep yang berasal dari proses sejarah masyarakat Barat merupakan cerminan sebuah tatanan sosial-kemasyarakatan yang antara lain dicirikan tiga hal. Pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya tatkala berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik bebas (free public sphere) sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.

Definisi Konsep Civil Society

Pendahuluan

Berangkat dari pemaparan Neera Chandhoke, dari hasil penelitiannya di Departement of Political Science, University of Delhi kisaran tahun 1989-1992 diantaranya mengungkapkan bahwa teori politik, bagaimanapun, tidak sependapat dengan satu definisi mengenai masyarakat sipil, sebab, arti yang berkaitan dengan konsep telah berubah-ubah dalam tradisi-tradisi pemikiran, sebagaimana perubahan antar tradisi.

Karenanya, meski masyarakat sipil merupakan konsep yang diperdebatkan, Chandhoke mengakui ada sebuah koherasi tematis yang mendasari perdebatan-perdebatan dimaksud. Mengingat, bahwa masyarakat sipil tidak memiliki esensi tunggal yang tetap, namun memiliki sekumpulan ciri-ciri yang khas masing-masing ciri ini telah menjadi titik permulaan untuk formulasi dan kontestasi intelektual yang lain. Sejarah konseptual dapat digunakan pada masa-masa pengungkapan narasi dan pada masa reaksi dari narasi tersebut. Oleh sebab itu, Sejarah konseptual menjadi sinigfikan karena membantu kita untuk memisahkan perbedaan dan kontradiksi dalam sebuah pengertian yang menandai konsep tertentu.

Civil Society:

Civil society

Konsep civil society tersebut dipahami dari latar belakang sejarahnya?. Akar perkembangan konsep ini bisa di runut dari zaman Cicero, bahkan Aristoteles. Cicero mengeluarkan istilah societas civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa, hingga abad ke 18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Jadi, istilah-istilah seperti koinonia politike, societas civilis, societa civile, buergerliche gessellschaft, civil society, dan societa civile dipakai secara bergantian dengan polis, civitas, etat, staat, state dan stato. Konsep ini terus berkembang, dan boleh jadi saling melengkapi. Konsep civil society model Cicero di maksud sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antara individu menandai keberadaan suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat kota, misalnya, menurut Cicero merupakan masyarakat yang telah menundukan dirinya di bawah supremasi hukum (civil law) sebagai dasar yang menentukan hidup bersama. Bisa di katakan bahwa proses membentuk civil society itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota.

Di masa selanjutnya, nyaris selang berabad-abad lamanya setelah istilah tersebut tenggelam, John locke dan Rousseau menghidupkannya kembali sebagai istilah yang di pakai dalam menganalisis hubungan masyarakat dengan politik. Locke, misalnya mengidensipikasikan civil society sebagai " masyarakat politik" (political society). Ciri dari civil society, selain terkait dengan tata hukum, juga dalam konteks ekonomi dan perkembangan zaman yang mampu menyejahterakan dan memuliakan hidup sebuah masyarakat beradab. Sementara Rousseau menggarisbawahinya lebih lanjut dengan mengatakan bahwa masyarakat politik itu tercipta lewat adanya kontrak sosial(social contract). Tapi, yang perlu di garis bawahi disini adalah, ternyata konsep civil society Locke dan Rousseau belum membedakan antara civil society dengan negara. Bahkan keduanya beranggapan bahwa civil society adalah pemerintahan sipil yang membedakan diri dari masyarakat alami-yang muncul sebagai prakondisi civil society.

Mencari akar defenisi dari konteks Barat.pada hakekatnya adalah sebagai sebuah konsep yang berasal dari proses sejarah masyarakat Barat merupakan cerminan sebuah tatanan sosial-kemasyarakatan yang antara lain dicirikan tiga hal. Pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya tatkala berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik bebas (free public sphere) sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.