Minggu, 02 November 2008

Makalah civil society

BAB I

PENDAHULUHAN

Gagasan modern yang kita kenal mengenai civil society berawal dari surutnya pengaruh Gereja Katolik dalam masyarakat luas, lahirnya perlawanan terhadap feodalisme dan tumbuhnya kelas borjuis baru di Eropa yang lahir bersamaan dengan zaman Rennaisance.

Secara etismologis, istilah civil turun dari kata dalam bahasa Latin untuk warganegara civis dan untuk komunitas politis civitas. Istilah ini menunjuk pada pembedaan mendasar antara penduduk kota yang terikat satu sama lain secara social dan secara politis oleh ikatan kewarganegaraan dan penduduk yang hidup sebagai petani di luar kota. Pada Abad Pertangahan, kota memiliki makna social, cultural dan politis distingtif. Secara jasmani, kota dibangun sebagai suatu kantung perlindungan yang kerap dikelilingi oleh benteng-benteng . imajinasi dualistis ini menghuni alam pikir periode ini: penghuni kota - petani (dalam bahasa Jerman: burgher/bauer dan bahasa Italia Borghese/peasano). Keanggotaan dalam suatu komunitas dirumuskan secara legal, kontitusional dan politis yang terwujudkan dalam gagasan tentang warganegara dan kewarganegaraan. Gagasan ini kemudian dirumuskan secara intelektual dalam karya Niccolo Machiavelli (1469-1527) dan Francesco Guicciardini (1433-1540).

Baik Hobbes maupun Locke menggambarkan kondisi pra-sosial atau keadaan alamiah yang diliputi ketidakpastian. Bagi Hobbes, keadaan alamiah adalah perang atau terkenallah ungkapannya ‘perang melawan semua’. Ia menggambarkan keadaan alamiah dimana manusia ada dalam individualism ekstrim dan hidup sosialnya pada dasarnya merupakan hubungan konfliktual. Kedaulatan mutlak individu ini harus diimbangi dengan bangunan Negara yang kuat untuk menjamin adanya tatanan social yang menciptakan keamanan dan kepastian bagi individu. Kemungkinan civil society berasal dari dan dijamin oleh Negara atau “Leviathan”. Sementara itu Locke memandang Negara dan civil society memiliki hubungan yang positif. Dalam pemikiran Locke, transisi dari keadaan alamiah ke civil society tidak dicapai melalui pengaturan tatanan oleh Negara yang dominan. Sebaliknya, civil society terbentuk melalui kontrak antara individu-individu yang merdeka, yang pada akhirnya membentuk Negara demi kepentingan mereka sendiri. Terbentuknya civil society ditandai dengan dikenalkannya uang (sebagai tanda pesetujuan). Dalam banyak hal hubungan Negara - civil society ditentukan oleh kegiatan ekonomi dan kekuatan pasar. Pada Locke, negaralah yang tergantung pada civil society. Terlihat bahwa peran Negara sangat minim - yaitu Negara sebagai ‘penjaga malam’. Civil society dipandang sebagai ruang asosiasi bebas, independen dan otonom.

Sebagai istilah yang kita kenal sekarang - meski dengan sedikit perbedaan arti - istilah ‘civil society’ digunakan mungkin paling awal dalam tulisan Adam Ferguson (1723-1816). Ferguson tidak membuat pembedaan antara Negara dan masyarakat. Dalam pemikirannya, civil society dicirikan oleh perdagangan, hak milik, keadilan, kedaulatan hokum, transparansi pemerintah dan akumulasi pengetahuan dalam seni, ilmu pengetahuan dan moral. Ia tidak mengemukakan asosiasi bebas sebagai karakterisktik civil society namun memandang berkumpulnya para warga kota di tempat umum sebagai karakteristik dari kesejahteraan tiap masyarakat. Pada pemikirannya, civil society tidak dilawankan terhadap Negara. Yang penting baginya adalah persamaan antara warga kota dan kebebasan yang mereka nikmati. Hal-hal yang membedakan civil society - dan tatanan politis yang memungkinkannya - dari tirani dan penindasan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Civil Society

Konsep civil society, menurut Ernest Gellner (1994), pertama kali diperkenalkan oleh Adam Ferguson sejak ia menulis An Essay on the History of Civil society (1773). Filsuf Skotlandia pada masa renaissance ini mengamati peralihan dari masyarakat aristokratis ke masyarakat industri, seiring dengan fase kapitalisme yang mulai menancapkan kukunya di daratan Eropa barat. Ferguson memang cukup piawai menguraikan implikasi sosial dan politik persoalan ekonomi masyarakat saat itu. Akan tetapi, bukunya itu sendiri tidak cukup memadai menjelaskan fenomena civil society, terutama dalam konteks perkembangan civil society dewasa ini.

Rumusan civil society makin menemukan bentuknya setelah Alexis de Tocquaville pada abad ke-19 melakukan penelitian lapangan yang hasilnya termaktub dalam karya klasiknya, Democracy in America (1969). Tocquaville sendiri terinspirasi oleh Montesquieu. Ia menyatakan bahwa asosiasi-asosiasi voluntir berguna untuk memperantarai aspirasi masyarakat dengan para pengambil kebijakan. Asosiasi perantara merupakan aset vital bagi demokrasi, kata Robert W. Hefner (2000). Menurut definisi AS. Hikam yang merujuk pada Tocquaville, civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya (1996).

Dalam melihat hubungan masyarakat dengan negara, civil society dianggap memiliki tiga fungsi; Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan dengan memajukan kegiatan yang ditujukan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau countervailing forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara.

Fungsi-fungsi civil society di atas mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi gagasan-gagasan civil society, antara ranah sosial-budaya ataukah pada lingkup politik. Studi Michael W. Foley dan Bob Edwards misalnya, menunjukkan distingsi kategoris antara civil society yang berorientasi horisontal yang lebih dekat pada irisan budaya dengan civil society vertikal yang dianggap lebih “politis.” Iwan Gardono (2001) menambahkan sebentuk civil society yang merupakan kombinasi antara keduanya. Ia melanjutkan bahwa civil society yang menekankan pada aspek budaya dan bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan “civility” atau keberadaban dan “fraternity.” Indigenisasi konsep civil society dilakukan dalam rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Anwar Ibrahim, Nurcholish Madjid dan Dawam Raharjo yang mengusung masyarakat madani misalnya, termasuk prototipe kalangan yang melihat civil society sebagai konsep budaya. Meskipun bagi kalangan muslim-tradisionalis seperti AS. Hikam, Ahmad Baso dan lain-lain enggan memakai istilah masyarakat madani untuk menyebut civil society, tapi lebih suka memakai kata civil society atau sekurang-kurangnya diterjemahkan menjadi masyarakat sipil, mereka sering dikategorikan sebagai kalangan civil society yang bekerja pada ranah kultural. Kategori ini tidak bersifat mutlak karena AS. Hikam misalnya, pernah menulis bahwa civil society merupakan sebuah arena tempat para intelektual organik menjadi kuat yang tujuannya mendukung proyek hegemoni tandingan.

Adapun civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis, sehingga lebih dekat pada aspek citizen dan liberty (Iwan Gardono. 2001). Identifikasi civil society sebagai masyarakat warga atau kewargaan yang dianut Ryas Rasyid, civil Islam—yang dikontraskan dengan regimist Islam— yang dipakai Robert W Hefner condong ke pengertian civil society secara vertikal. Dalam analisis Iwan Gardono, perbedaan titik tekan tersebut berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang beragam untuk menyebut civil society ternyata tidak sekadar persoalan etimologis, tapi juga mengandung perbedaan substansi penekanan dari masing-masing konsep atau istilah civil society itu.

Sementara kombinasi vertikal dan horisontal, dalam pandangan Iwan Gardono, tampak dalam definisi civil society menurut Ralf Dahrendorf dan Afan Gaffar, meskipun secara umum keduanya lebih condong pada pengertian vertikal. Dengan mengombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka fungsi komplementer, substitutor dan countervailing forces menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Barangkali persoalannya terletak pada bagaimana kalangan civil society dalam pelbagai sektor dan area of concern dari aktivitas yang mereka lakukan dapat berbagi peran menuju terciptanya demokratisasi yang berbasis masyarakat (based on communities).

B. Perkembangan Civil Society

Sebagai sebuah wacana, civil society adalah produk sejarah dari masyarakat Barat modern. Kemunculannya berbarengan dengan proses modernisasi, terutama terjadi pada saat proses transformasi dari pola kehidupan yang masih berbentuk feodal menuju masyarakat industrial kapitalis. Adalah Adam Ferguson yang pertama kali mengemukakan mengenai civil society dalam konteks Eropa Barat pada abad ke-18 yang berkaitan dengan tumbuhnya sistem ekonomi pasar.[1] Kemudian J.J. Rosseau dan John Locke, adalah tokoh-tokoh yang memberikan landasan filosofis bagi sistem politik yang memberi penghargaan pada kedaulatan individu, emansipatoris dan persaudaraan manusia.

Selanjutnya konsep civil society tersebut banyak mengalami pola pemaknaan, sejalan dengan perubahan sosio-historis tempat gagasan itu dirumuskan. Dalam sejumlah literatur mengenai konsep civil society, terdapat lima corak pemikiran yang mewarnai sejarah Barat.

Pertama, civil society di pahami sebagai sistem ketatanegaraan. Dalam hal ini, civil society identik dengan negara. Pemahaman tersebut di kembangkan oleh Aristoteles (384-322 SM), Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Hanya saja, Aristoteles tidak menggunakan istilah civil society, melainkan koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan baik itu dalam bidang ekonomi maupun politik. Cicero pun berbeda dengan Aristoteles, ia menamakannya dengan societas civilis, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi sejumlah komunitas lain. Sedangkan Thomas Hobbes dan John locke memaknainya sebagai tahapan lebih lanjut dari natural society, sehingga civil society sama dengan negara.

Kedua, dengan mengambil konteks sosial-politik Skotlandia, Adam Ferguson (1767)memberi tekanan terhadap makna civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Ia menggunakan pemahaman ini untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme. Menurut Ferguson, munculnya ekonomi pasar bisa melunturkan tanggung jawab publik dari warga karena dorongan pemuasan kepentingan pribadi. Civil society disini, lebih dipahami sebagai entitas yang sarat dengan visi etis berupa rasa solider dan kasih sayang antar sesama, dan ini kebalikan dari masyarakat primitf atau masyarakat barbar.

Ketiga, dalam pemaknaan Thomas Paine (1792), civil society merupakan antitesis negara atau cenderung dalam posisi yang berhadapan dengan negara.

Keempat, yang menjadi tokoh pemikirnya antara lain Hegel, Marx dan Gramsci. Dalam hal ini, Hegel mengembangkan civil society yang subordinat terhadap negara. Hal ini didasari karena civil society sangat kuat hubungannya dengan fenomena masyarakat borjuis Eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari dominas negara.[2]

Pandangan civil society yang pesimis ini juga dikembangkan Karl Marx (1818-1883). Marx memahaminya sebagai masyarakat borjuis dalam hubungan produksi kapitalis keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dan penindasan. Karena itu, ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.

Sedangkan Antonio Gramsci, meski penganut Marx tetapi tidak memahami civil society dari relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila marx menempatkan civil society pada basis material, Gramsci menaruhnya pada suprastruktur, berhadapan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Civil society adalah adalah sebuah arena tempat para intelektual organik dapat menjadi kuat yang tujuannya adalah upaya melakukan perlawanan terhadap hegemoni negara.[3]

Akhir dari semua proses itu adalah terserapnya negara dalam civil society, sehingga terbentuklah apa yang disebut masyarakat teratur (regulated society).[4] Dengan demikian, bila Hegel dan Marx cenderung pesimis dengan kemandirian civil society maka Gramsci lebih optimis dan dinamis.

Kelima, berdasarkan pengalaman demokrasi di Amerika, Alexis De’ Tocqueville mengembangkan teori civil society yang dimaknai sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Di Amerika pada awal pembentukannya, demokrasi dijalankan lewat civil society, berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat, termasuk gereja dan asosiasi professional, yang membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi negara.

Civil society tidak apriori subordinatif terhadap negara, sebagaimana konsep Hegelian. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan pengimbang untuk menahan kecenderungan intervensi negara. Bukan hanya itu, ia bahkan menjadi sumber legitimasi negara, dan pada saat yang sama mampu melahirkan kekuatan kritis reflektif (reflective force) untuk mengurangi derajat konflik dalam masyarakat sebagai akibat proses formasi sosial modern. Civil society tidak hanya berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi juga sensitif terhadap kepentingan publik.

Karenanya, civil society mengandaikan pula sebuah masyarakat politik (political science) di dalamnya. Ini jelas berbeda sekali dengan konsep-konsep civil society yang dikenal dalam konsepsi Hegelian dan Marxian. Yang pertama melihatnya sebagai sebuah wilayah pribadi, dimana orang secara egoistik memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan orang lain.

Corak pemikiran Gramsci dan Tocqueville inilah yang menjadi inspirasi gerakan pro-demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada akhir dasawarsa 80’an, dan bukan konsep Hegel yang pesimis itu. Pengalaman Eropa Timur dan Tengah membuktikan justru dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka. Di sini, gerakan membangun civil society menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga negara. Gagasan civil society menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman negara yang secara sistematis melemahkan kreatifitas dan kemandirian mereka.

Pemikiran terakhir ini kemudian diperkaya oleh Hannah Arendt dan Juergen Habermas dengan konsep “ruang pubik yang bebas” (the free public sphere). Ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan penerbitan yang berkenaan dengan kepentingan umum. Institusionalisasi ruang publik ini, menurut Habermas, antara lain, media massa, sekolah, gedung-gedung pertemuan, parlemen dan tempat-tempat publik lainnya.

Civil society model Tocqueville tumbuh di Eropa sebagai rekonstruksi pengalaman Amerika dan kemudian tumbuh di Eropa inilah yang selanjutnya menjadi basis kehidupan demokrasi modern, yang berlandaskan prinsip toleransi, desentralisasi, kewarganegaraan, aktivisme, dalam ruang publik, sukarela, swasembada, swadaya, otonom, dan konstitusionalisme.

Secara institusional, civil society mewujud dalam berbagai asosiasi yang dibuat dalam masyarakat di luar pengaruh negara. Misalnya lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban, partai politik hingga organisasi yang awalnya dibentuk negara, namun berfungsi sebagai pelayan masyarakat.

Dari perspektif konsep civil society yang berbeda-beda ini, sesungguhnya mengimplikasikan pada substansi penekanan dari konsep atau istilah konsep civil society itu. Dan ini pada gilirannya akan melahirkan perbedaan pula pada aspek penguatan civil society. Terlepas dari beragamnya pendekatan dalam memahami civil society, sepertinya relevan untuk melontarkan definisi civil society menurut Alfred Stepan,

Arena di mana banyak sekali gerakan sosial (misalnya, asosisasi kekeluargaan, kelompok perempuan, kelompok-kelompok keagamaan, dan organisasi intelektual) dan organisasi-organisasi civik dari berbagai kelas (misalnya, organisasi pengacara, wartawan, serikat buruh dan pengusaha) yang mencoba membentuk diri mereka dalam suatu keteraturan agar dapat menyalurkan kepentingan-kepentingannya.”

Dari definisi Stepan ini, bisa di artikan bahwa civil society bukan hanya sekedar arena di luar negara yang berusaha untuk meraih kepentingan, tetapi juga ada kesadaran dari kelompok masyarakat untuk menghimpun dirinya dalam asosiasi dan organisasi sukarela bekerja sama dalam bingkai keteraturan (ensemble of arrangement).

BAB III

KESIMPULAN

Secara etismologis, istilah civil turun dari kata dalam bahasa Latin untuk warganegara civis dan untuk komunitas politis civitas.

Konsep civil society, menurut Ernest Gellner (1994), pertama kali diperkenalkan oleh Adam Ferguson sejak ia menulis An Essay on the History of Civil society (1773)

Rumusan civil society makin menemukan bentuknya setelah Alexis de Tocquaville pada abad ke-19 melakukan penelitian lapangan yang hasilnya termaktub dalam karya klasiknya, Democracy in America (1969). Tocquaville sendiri terinspirasi oleh Montesquieu. Ia menyatakan bahwa asosiasi-asosiasi voluntir berguna untuk memperantarai aspirasi masyarakat dengan para pengambil kebijakan.

Dalam melihat hubungan masyarakat dengan negara, civil society dianggap memiliki tiga fungsi;

Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan dengan memajukan kegiatan yang ditujukan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services).

Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas.

Ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau countervailing forces.

terdapat lima corak pemikiran yang mewarnai sejarah Barat mengenai konsep civil society,

Pertama, civil society di pahami sebagai sistem ketatanegaraan, Kedua, dengan mengambil konteks sosial-politik Skotlandia, Adam Ferguson (1767)memberi tekanan terhadap makna civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat, Ketiga, dalam pemaknaan Thomas Paine (1792), civil society merupakan antitesis negara atau cenderung dalam posisi yang berhadapan dengan Negara, Keempat, yang menjadi tokoh pemikirnya antara lain Hegel, Marx dan Gramsci., Kelima, berdasarkan pengalaman demokrasi di Amerika, Alexis De’ Tocqueville mengembangkan teori civil society yang dimaknai sebagai entitas penyeimbang kekuatan Negara.

Referensi

  • Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil society, Jakarta: LP3ES, 1996
  • Ryaas Rasyid, Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan (Tinjauan Teoritik), Jurnal Ilmu Politik, 1997
  • TB. Ace Hasan Syadzily dan Burhanuddin (ed.), Civil Society dan Demokrasi: Survey tentang Partisipasi Sosial-Politik Warga Jakarta, Jakarta: INCIS, 2003
  • Azra, Azyumardy, Civil Society dan Agama, Republika, Resonansi, Thursday, 12 July 2007



[1] Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil society, Jakarta: LP3ES, 1996, h. 224

[2] Ryaas Rasyid, Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan (Tinjauan Teoritik), Jurnal Ilmu Politik, 1997, h. 4

[3] TB. Ace Hasan Syadzily dan Burhanuddin (ed.), Civil Society dan Demokrasi: Survey tentang Partisipasi Sosial-Politik Warga Jakarta, Jakarta: INCIS, 2003, h.12-13

[4] Ibid., h. 94